Sebagai Penulis Pemula,...

31/12/2009 23:13

Sebenarnya sudah banyak sinopsis novel yang saya buat. Saya bersemangat untuk menjadikannya sebuah novel utuh yang bisa dinikmati pembaca. Namun, sering di tengah perjalanan menceritakan bab-bab novel, saya dihantui ketakutan. Selalu ada perasaan yang seharusnya tidak ada karena hanya akan menghalangi langkah saya. Menjegal lari saya. Sayangnya, saya berkali terjatuh. Novel saya tak selesai.

 

“Apakah jalan cerita ini logis? Apakah di kehidupan nyata benar-benar ada?” tanya bagian diri saya yang mengkritik sinopsis yang telah terbuat. Saya kadang bingung menjawab. Saya pernah membaca buku bahwa pembaca tidak menginginkan sebuah cerita yang sangat logis dan sesuai dengan kehidupan nyata. Pembaca ingin cerita kehidupan dikisahkan dengan sedikit bumbu penyedap. Maksudnya, jika saya menceritakan sesuai dengan yang ada di dunia nyata, sebaiknya saya lebih banyak membaca komik. Cerita disukai dari segi unik idenya. Atau ide biasa yang diceritakan dengan asyik.

 

“Apakah pembaca menyukai?” Oh, ini pembunuh kreaivitas yang sering mengganggu saya. Saya tak bisa menjawab, tentu. Namun, mulai sekarang saya akan menjawab: “Saya akan tahu setelah novel saya selesai, dan di review pembaca.”

 

“Kenapa gaya bercerita saya standar dan terlalu bertele-tele?” Pertanyaan yang cukup membuat waktu saya dihabiskan walau untuk menuliskan satu kalimat. Sering tombol ‘backspace’ dan ‘delete’ lebih berfungsi dari pada tombol-tombol huruf si keyboard. Tapi, sekarang saya sudah membaca buku Mengikat Makna Update dari Hernowo dan buku Quantum Writer dari Bobbi DePotter. Kalau Hernowo tulis bahwa menulis harus di ruang privat dahulu—yang tidak mementingkan tata bahasa, bagus-tidak, ini-itu—setelah itu di ruang publik. Sedangkan di Quantum Writer diberitahunya kita bahwa penulis memiliki dua topi yang bisa dipakainya. Pertama, adalah topi kreatif—yang memakai otak kanan yang acak dan berseni—dan kedua adalah topi kritik—yang memakai otak kiri yang teratur dan ilmiah.

 

“Kamu terlalu banyak kegiatan sehingga menulis jadi sesuatu yang tidak mudah. Bukankah sebaiknya kamu menunda dulu?” Aha, pertanyaan yang menjengkelkan dan sering terdengar sebagai saran bagiku. Sialnya aku menurut! Jika di rumah aku sering disuruh ini-itu. Jika di kampus aku mesti mengerjakan tugas ini-itu. Padahal aku sering lari dari keharusan menjadi raja dari mood, bukan menjadi anak buahnya.

 

Hufff….

 

Sebenarnya saya ingin tinggal di tempat yang situasinya dalam genggaman saya. Di tempat yang sekarang, saya tak bisa melakukannya. Saya punya teman sekamar. Saya sudah mencari tempat yang bisa satu kamar untuk seorang, tapi untuk keluar dari asrama ini tidak begitu mudah. Harus ada alasan yang bisa diterima. Kenapa mereka tak bisa menerima alasan bahwa aku sebagai penulis terbiasa bekerja di tempat yang tak ada orang selain aku? Bagiku, pekerjaan menulis layaknya seorang seniman lukis atau patung. Mereka mempunyai studio pribadi yang tidak sembarang orang bisa masuk.

 

Besok sudah 1 Januari 2010. Hari dimulainya pertualangan saya untuk menulis novel selama 2 bulan dan menerbitkannya sebelum bulan Agustus. Mungkin beberapa rencana saya tidak berjalan, seperti pindah ke kost yang bisa sekamar sendiri.

 

Saya akan berusaha keras untuk menyelesaikan projek ini. Saya butuh teman-teman untuk turut serta di perjalanan ini; menyemangati, mengkritik, memberi informasi, dan saya menyajikan cerita-cerita yang dapat teman-teman komentari…

 

Doro darake yo najime nai tokai de

Onaji you ni warae nai utsumuite aruita no

Isogi ashi de surechigau hito-tachi

“Yume wa kanai mashita ka?”

ATASHI mada MOGAite iru

 

[In the city I'm not used to that's full of dirt,

I can't laugh the same and I walked with my head down

People pass by in a quick pace

They ask "has my dream come true?" But I'm still struggling]

 

Taken from a song entitled LIFE sung by YUI